Hi Mama!
Mam, masa pandemi ini sudah membawa kita pada berbagai kondisi, salah satunya adalah pembatasan sosial berskala besar atau yang dikenal sebagai PSBB. Tidak sedikit, ya mam diantara kita yang terkena imbasnya, baik terhadap anak-anak maupun pasangan kita. Mereka dihadapkan pada aktivitas sekolah dan bekerja dari rumah atau dengan istilahnya 'Work from Home' (WFH). Mau tidak mau, suka atau tidak suka kita semua dihadapkan pada sebuah kenormalan baru yaitu situasi yang berproses melalui digitalisasi atau daring. Situasi ini telah membuat tatanan kehidupan sosial kita sangatlah terbatas. Untuk itu, dibutuhkan sikap yang adaptif dan cepat tanggap dalam merespon perubahan ini. Sebagai contoh nyata, selama covid masih bersenang-senang di muka bumi ini, maka kita akan terus dihadapkan pada sebuah fenomena yaitu hidup berdamai dan berdampingan dengan virus covid-19.
Lantas, apakah hal ini membuat kita menjadi semakin takut? Tentu tidak dong! Karena apabila kita takut maka covid semakin merajalela menguasai ritme hidup kita. Yang terpenting, mama terus terapkan prokes ketat-nya, ya. Nah, mama, seiring dengan kehidupan dimasa pandemi ini, ternyata banyak dampak yang telah terjadi dalam keluarga kita.
Sebuah kenormalan baru yang digadang-gadang sebagai suatu "a new way of life" telah menggeser pola hubungan kita dengan anak dan pasangan. Hal ini terlihat pada semakin banyak aktivitas pekerjaan kantor yang dilakukan bersamaan dengan pekerjaan di rumah maka akan semakin banyak pula distraksi yang ditimbulkan terhadap keduanya.
Berbagai distraksi yang timbul tersebut justru mengakibatkan "gap" atau kesenjangan dalam hubungan interpersonal di dalam sebuah keluarga. Implikasinya, anak sibuk sendiri begitupula ayah dan ibu yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Padahal mereka berada dalam satu atap, layaknya kiasan "menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh". Betapa miris memang, tetap hal itu sudah kerap terjadi di semua keluarga.
Namun, ada salah satu dampak luar biasa pandemi yang dapat menyebabkan sebuah keluarga mengalami masalah pelik adalah ketika distraksi tersebut sedang terjadi karena aktivitas WFH. Tanpa disadari para ayah atau ibu dan anak telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Hal ini dapat teridentifikasi dari masalah jaringan, noises dari anak atau istri yang sedang melakukan aktivitas. Tidak jarang, ayah kerap marah-marah atau sampai melampiaskan emosinya tersebut dengan melakukan tindakan kekerasan verbal atau non-verbal (fisik). Sang ayah mungkin kesal atau marah karena sedang banyak deadline pekerjaan menumpuk pada satu waktu dan sedang WFH pula.
Nah, mam, pedih rasanya melihat dan menyaksikan kondisi tersebut kerap kian terjadi dalam sebuah keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh dari catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan naik sebesar 75% selama pandemi tahun 2020. Dan menurut catatan YLBH APIK, mayoritas kasus KDRT terjadi terhadap perempuan sebanyak 90 kasus setiap bulan dan tentunya data ini akan terus meningkat selama pandemi Covid-19.
Selain itu, data yang diperoleh dari unduhan sumber tempo.com. Hingga pertengahan 2021, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Kalsel menangani 147 kasus terdiri dari 68 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 79 kasus anak. Sedangkan selama 2020, total ada 214 kasus terdiri dari kekerasan terhadap perempuan 94 kasus dan terhadap anak 120 kasus. Sungguh betapa memprihatinkan kasus tindak kekerasan ini. Tentunya, yang kerap menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan data tersebut, tak ayal apabila tulisan ini saya tujukan kepada laki-laki sebagai seorang ayah dan juga pelaku tindak kekerasan dalam keluarga. Tidakkah, seorang pemimpin keluarga yang baik itu harus dapat mengelola emosi dengan baik ditengah anak dan istrinya. Seorang suami yang baik tidak akan menyakiti hati istri atau anaknya. Suami atau ayah teladan pasti akan memuliakan istri dan anaknya.
Apabila seseorang memiliki akal sehat dan hati yang lembut, pandemi ini dijadikan sebagai ladang pahala karena apapun yang terjadi atas kuasa Tuhan, Allah SWT. Maka dari itu sudah sepantasnyalah seorang pemimpin keluarga yang salih harus menganggap hal ini adalah bagian dan ujian Allah SWT. Setiap ujian pasti memberikan banyak hikmah yang dipetik sebagai pelajaran hidup setiap manusia.
Sebagaimana diketahui, menurut Saifudin Ali Ahmad sebagai manusia yang beriman, kita dianjurkan untuk ikhlas dan sabar dalam menghadapi kondisi ini. Karena segala sesuatu yang datangnya dari Allah pasti membawa suatu pesan bagi kita, apabila kita dapat bersabar maka pesan itu akan sampai kepada kita.
Saifudin Ali Ahmad menambahkan, bahwa kesabaran juga dapat menjadikan tolak ukur keimanan kita karena sesungguhnya Allah sedang menguji kekuatan iman kita. Apabila kita sabar, bahkan di kondisi yang sulit sekalipun, maka insyaAllah itu merupakan salah satu ukuran kuatnya iman kita sebagai umat muslim.
Semoga kita semua senantiasa selalu ada dalam rahmat dan iman pada Allah SWT.
Sumber data:
1. https://www.uii.ac.id/menghadapi-pandemi-covid-19-dengan-kesabaran/
2.https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1496559/kasus-kdrt-meningkat-selama-pandemi-covid-19
Inspiratif bun...
BalasHapus