Keluarga adalah tempat bersandar dan bersimpuh dari segala dinamika kehidupan yang terjadi pada setiap manusia. Hanya keluarga yang dapat menerima kondisi kita apa adanya. Keluarga merupakan tempat belajar memaknai arti dan hakikat kehidupan. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Melalui keluarga kita bersama kuat dan yakin akan kuasa-Nya dalam menghadapi berbagai rintangan dan ujian kehidupan. Keluarga, siapapun di dunia pasti setuju kalau harta yang paling berharga di dunia adalah keluarga. Bagaimanapun kamu dan seperti apapun keadaannya kamu, keluarga jadi sesuatu yang mampu buat kamu berbagi kesenangan ataupun bersandar ketika sedih.
Namun, arti indah semua itu akan pudar seiring dengan kenyataan bahwa setiap cerita dalam keluarga tidak selalu berjalan indah dan bahagia. Ada saja lika liku permasalah yang kadang kala menyakitkan hati. Terlebih hal itu dilakukan oleh orang terdekat yang kita sayangi. Kondisi demikian dapat menjadi racun atau toxic yang terasa getir jika diingat-ingat atau diresapi. Sejatinya dalam keluarga kita berusaha saling menyayangi, menghormati dan menghargai tanpa syarat, sejak itulah kita merasa, setiap anggota keluarga kita memiliki ekspektasi yang sama. Tetapi, hal; itu tidak seindah kisah surga. Terkadang, tempat yang kita harapkan menjadi sandaran dan berbagi keluh kesah, semuanya berubah menjadi mimpi buruk. Bagaimana tidak, ada banyak cerita pilu yang dikisahkan dari keluarga terdekat. Alkisah, cerita perjuangan ibu mandiri yang mengurus anaknya dengan tangan sendiri, justru bukan support system baik yang ia dapat, justru saran-saran toxic yang ia dapatkan. Kenapa kasih susu naka pakai susu formula-lah, kenapa melahirkan secara casear-lah kenapa begini begitu dan rentetan pertanyaan bais pernyataan yang jaawbannya sudah bsia ditebak akan mengarah pada saran kesesatan dan kebencian. Entah apa yang ada dalam otak dan hati mereka. Bukankah dalam keluarga itu saling support dan respect atas pilihan hidup mereka. Kemana esensi pesaudaraan itu?, lain lagi, ceirta sesama ipar dan mertua yang sana sini saling bergunjing pada menantunya terkait pola asuh anak, kenapa sih hal tersebut diperdebatkan tanpa saran bijak yang dapat menenagikan hati kedua belah pihak.
Adapula, kisah suami yang berlaku keras dan kasar terhadap istrinya. Parah betul kondisi demikian, karena pean suami bukannya sebagai perisai kelaurga justru sebagai tombak yang menghunus prajuritnya sendiri.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar